nyamuk

NYAMUK-NYAMUK NAKAL


Malam ini di ruangan yang berukuran 2,5x5 meter ini tak seperti malam-malam yang biasanya. Tak terdengar lagi suara keyboard atau mouse yang sedang dipakai bekeraja. Desis suara AC yang terus tak jemu-jemu menghembuskan udara sejuk bertemperatur 16ยบ membuat suasana terasa semakin dingin ketika malam-malam semakin beranjak larut.
Saat kupandangi dua buah meja kerja lengkap dengan peralatannya seperti komputer dan printer aku dibuat kaget oleh pandangan yang ada, “ah semakin lama aku pandangi mereka, nampak semakin muram saja”. Nampaknya mereka kelelahan seharian telah bekerja bersama tuannya, saat inilah waktu yang tepat buat mereka beristirahat.
Aku lihat ada 2 buku besar yang sepertinya habis dibaca dan tergeletak begitu saja diatas meja, satu buku berjudul Documenta Historia dan yang satunya Harga Sebuah Impian yang merupakan salah satu seri dari Chiken Soup terbitan Gramedia Pustaka Utama. Tepat disamping dua buku tadi aku lihat sebuah asbak penuh dengan puntung rokok, aku lihat gelas putih yang bertuliskan Harian Ibu, cerdas, lembut dan santai tersisa sedikit kopi yang terbuat dari campuran kopi murni, cofee mate dan sedikit gula. Bukti nyata, siang hari tadi ditempat ini berlangsung kerja dengan suasana yang keras. Dua buah kursi panjang satu berwarna merah dan yang satunya berwarna coklat muda, dua pesawat telpon nampak tegar dan setia diatas meja yang terbuat dari kayu pinus. Empat buah lukisan cat minyak yang menggambarkan suasana kota perancis tergantung apik di tembok sisi selatan, utara dan barat ruangan itu.
Jam tanganku saat ini menunjukan pukul 23.50 wib. “Ah sebentar lagi hari manjelang pagi pikirku”, tak terasa waktu berjalan sangat cepat aku sebentar lagi memasuki hari Sabtu ya Sabtu 23 Agustus 2008, tapi sampai detik ini aku belum bisa tidur, walau badan terasa sangat lelah, mataku tetap tidak mau berkompromi walau barang sebentar untuk istirahat. Aku duduk sebentar di kursi panjang warna merah, dan suatu hal aneh menyeruak di dalam otakku menggangguku setiap kali kesunyian datang. Ah, aku sudah berumur 24 tahun, apa yang sudah aku lakukan? Apa prestasi yang sudah aku capai? ruangan yang sunyi senyap ini terasa semakin menghimpitku dengan pertanyaan-pertanyaan itu yang membuat aku semakin terpojok lemah tak berdaya.
Saat aku tetap terjaga diatas kursi panjang warna merah ini, entah dari mana asal-muasalnya munculah serombongan nyamuk dalam jumlah yang tidak sedikit. Bak mesin perang mereka tebang dengan kecepatan penuh yang hendak melumatkan musuh-musuhnya. Mereka terus mendekat, ya mereka terus mendekat bisiku pelan dalam hati. Mereka mulai mendekati kedua kupingku, lantas mereka bernyanyi gembira. “Ah…. dasar nyamuk”, tak lama berselang mereka satu persatu mulai mendarat dengan sempurna di kedua tanganku yang memang tak tertutup pakaian, coba lihat dengan sigap mereka mencari posisi yang mereka anggap strategis, dan aman untuk menggigit dan menghisap darahku. Tidak seperti “burung besi” buatan manusia yang ahir-ahir ini dikabarkan sering mengalami kecelakaan, pendaratan mereka diatas kulitku taramat sempurna. Ya, mereka mendarat kemudian mereka berjalan, lalu berhenti dan mulai menggigit dan menghisap, dalam hal ini merekalah ahlinya.

Mungkin karena sering menghisap darah intelektual muda, mereka dengan cepat berubah jadi nyamuk-nyamuk cerdas. Lihat saja pendaratan mereka yang sangat mulus, mereka berjalan dengan lincah dan bergerak cepat mencari celah-celah yang memang tidak terlindungi itu. Sesekali mereka terbang, dan hinggap, hup… mereka semua berhasil menembus kulitku, mereka menghisap darahku dan mereka siap memompa racun kedalam kulitku. Ya mereka meninggalkan rasa gatal yang teramat sangat dan juga bentolan-bentolan merah di sekujur tubuhku.
“Ah…. mengapa ruangan ini dipenuhi beragam nyamuk..?, apakah karena ruangan ini berdekatan dengan kali Ciliwung yang memang sudah lama tidak bersih lagi itu ya..?”, Beragam bukti sesat muncul dan mengutkan argumenku, kali itu memang kali terjorok dari kali yang pernah aku lihat selama ini. Air yang jernih telah berubah berwarna kecoklatan, bau busuk seperti “comberan“ tak segan-segan menyebar kesegala penjuru tat kala angin berhembus. Ya, sungai itu tidak seperti dahulu kala dimana banyak penduduk Jakarta yang memanfaatkan untuk keperluan MCK, bahkan dahulu kala kali itu menjadi tempat favorit bagi pengusaha Loundry untuk membersihkan pakaian para kliennya.
Sungguh amat disayangkan saat ini sungai itu seperti bak sampah yang sangat besar. Lihat beraneka ragam sampah dengan mudah kita temui disana. Airnya yang tak seberapa banyak itu laksana kolam renang bagi samapah-sampah. Berbagai bibit penyakit mungkin dengan mudah kita temui disana termasuk juga jentik-jentik nyamuk. “Ah…., aku pikir bukan salah sungai itu, tapi salah manusianya saja yang memandang dan memposisikan sungai itu sehingga sungai itu berubah fungsinya. Tatkala kemarau ia menghadiahkan bebauan yang membuat lubang hidung menciut dan tatkala hujan ia membuat repot penduduk disebagian Jakarta dengan luapan airnya yang menggenangi areal pemukiman warga. “Ah…., sungguh malang nasib sungai itu”.
Ku liat lagi jam tanganku, waktu telah menunjukan pukul 00.35 Wib. Rasa lelah yang terus menyerangku belum mampu membuat badan ini sejenak beristirahat. Mataku terbelalak saat melihat jumlah nyamuk-nyamuk yang mengintaiku semakin banyak. Mereka sepertinya sedang menunggu saat-saat dimana aku lengah dan tak terjaga, karena saat itulah waktu mereka untuk berpesta telah dimulai. Sungguh kejam mereka, mereka menghisap darah, menggantinya dengan racun, mereka terbang, mereka bercinta, dan menyisakan bunyi bising di kedua daun telingaku. Nyamuk-nyamuk jaman sekarang memang tidak berkeprimanusuiaan, tingkah mereka semakin membuat merah telingaku saja.
Kuperhatikan dengan seksama nyamuk-nyamuk yang sedang berpesta itu, diam-diam aku mengincar nyamuk yang paling gemuk. Kupikir dia yang paling bersalah dalam hal ini. Dengan kedua tanganku aku mencoba menepuk keras-keras nyamuk itu, “Pruk’’ Ah…. nyamuk itu ternyata tidak kena, dia terbang sambil tertawa dan mengejeku “rasain kamu, tidak kena wek….”. Semakin jengkel rasanya melihat tingkah nyamuk-nyamuk itu.
Apakah revolusi yang sempet aku dengar memang benar-benar terjadi, sehingga lahirlah generasi-generasi nyamuk yang pintar dan adaptif terhadap situasi dan kondisi? Pikiran itu selalu membayangiku mengganggu peraduanku di setiap malam-malam.
Read On 0 komentar