PENGARANG, PENERBIT DAN PENTJETAK

Hubungan Antara Pengarang Penerbit Pentjetak

Karya: Richard S. Gill
Hubungan Antara Pengarang Penerbit Pentjetak
Terdjemahan:
Haksan Wirasutisna
Penerbit Dhiwantara, Bandung 1962





Daftar Isi
Kata Pengantar Tjetakan Kedua
I. Pengertian pertejetakan dan penerbitan
Tujuan dan rentjana buku ini
Pertjetakan dan penerbitan: Suatu pertentangan
Fungsi penerbitan
Bilakah naskah dapat diterbitkan
II. Pengarang dan Proses Pentjetakan
Tingkat Pertama
Tingkat Kedua
Tingkat Ketiga
III. Bentuk yang Pantas
Apa yang diharapkan oleh penerbit
Sebab-sebab yang tidak pantas
Pembajaan yang terahir
Kata-kata tak berguna
IV. Copy Yang baik
Tulisan ditik
Kepala-kepala bab dan anak-anak bab
Penundjukan
Keterangan-keterangan gambar, Tjatatan bawah, Bibliografi
Sifat Konsekwen
Kutipan-kutipan
Tanda batja
Kata-kata yang harus dihindarkan
Penomoran halaman
Mengkoreksi Naskah
Tiga alat yang berguna
V. Ilustrasi
Beberapa prosedur yang tidak perlu
Grafik2 dan tabel2
Klise raster
Filem Sinar x atau Kesan
Warna
Plat2
Ilustrasi-ilustrasi berkelompok
Perketjilan
Guntingan-guntingan, Pindjaman, Ijin
Keterangan gambar
Penomoran
Pembatjaan terahir
VI. Pusparagam
Pendahuluan-pendahuluan Ketjil
Kata pendahuluan dan sepatah kata
Daftar isi
Daftar-daftar tam ba han
Bibliografi
Hal-hal tambahan lainnya
Indeks
VII. Mengoreksi dan Meneliti Pruf
Penukaran pruf
Perobahan-perobahan pengarang
Pruf Lepas
Pruf-pruf Ilustrasi
Pruf halaman
VII. Revisi
Ralat
Ulang Tjetak
Peringatan umum mengenai refisi
Refisi Bakal-Tjetakan (zetsel) tak ada
Refisi Bakal-Tjetakan (zetsel) yang masih ada
Refisi dari plat-plat Elektron
IX. Milik dan Warisan Sastra
Hak milik dan Hak cipta
Warisan sastra
Penggantian pengarang
Ahli waris sastra
Perdjandjian Penerbitan dan Pengarang
X. Uang djasa dan sebagainya
Dasar uang Djasa
Sekala yang berobah-obah
Bilakah disebut edisi Baru
Buku-buku yang menjisa
Buku-buku untuk pengarang
Pembayaran Uang djasa
XI. Pengarang selaku penerbit-bersama

Tebal Buku
145 halaman dengan kover
Segeralah cari dan baca Buku ini...!!!
Read On 0 komentar

Candi

CANDI CANGKUANG

S7.102880 - E107.919050, Altitude 73

Nama : Candi Cangkuang

Kategori : Budaya

Lokasi : Desa Cangkuang, Kec. Leles, Kab. Garut

Propinsi : Jawabarat

Peta Lokasi Candi Cangkuang

Penulis: Silhouette

Referensi:-

Lokasi: Cangkuang, Leles, Garut

Koordinat GPS: S7.102880-E107.919050

Ketinggian: 738 m

Fotografer: AMGD+Silhouette

Gambar 1

Gambar 2


[navigasi.net] Budaya - Candi Cangkuang

Danau kecil atau biasa disebut dengan Situ membentang dengan bunga teratai dan eceng gondok diatasnya. Situ Cangkuang, biasanya penduduk setempat menyebut nama tersebut dan termasuk salah satu Situ yang sangat bersejarah, karena ditengahnya terdapat sebuah bangunan candi. Candi Cangkuang adalah satu-satunya candi yang dapat dipugar di daerah Jawa Barat.

Nama Candi Cangkuang disesuaikan dengan nama desa dimana candi itu ditemukan. Desa Cangkuang berasal dari nama pohon yang banyak terdapat disekitar makam Embah Dalem Arif Muhammad, namanya pohon Cangkuang, pohon ini sejenis pohon pandan dalam bahasa latinnya ( Pandanus Furcatus ), tempo dulu daunnya dimanfaatkan untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus gula aren. Embah Dalem Arif Muhammad dan kawan-kawan beserta masyarakat setempatlah yang membendung daerah ini, sehingga terjadi sebuah danau dengan nama "Situ Cangkuang" kurang lebih abad XVII. Embah Dalem Arif Muhammad dan kawan-kawan berasal dari kerajaan Mataram di Jawa Timur. Mereka datang untuk menyerang tentara VOC di Batavia sambil menyebarkan Agama Islam di Desa Cangkuang Kabupaten Garut. Waktu itu di Kampung Pulo salah satu bagian wilayah dari desa Cangkuang sudah dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu. Namun secara perlahan namun pasti, Embah Dalem Arif Muhammad mengajak masyarakat setempat untuk memeluk Agama Islam.

Desa Cangkuang terletak disebelah utara kabupaten Garut masuk Kecamatan Leles, tepatnya berjarak 17 km dari Garut atau 46 km dari Bandung. Untuk menuju situs Cangkuang dari arah Bandung, bisa menggunakan mobil pribadi atau umum. Dari arah Bandung menuju Garut kita akan ketemu dengan kecamatan Leles, ketika sampai di Leles ada sebuah papan petunjuk yang sangat jelas yang menunjukkan posisi Candi Cangkuang. Masuk ke dalam sejauh kurang lebih 3 km, dengan jalan beraspal dapat dilalui oleh kendaraan baik roda dua maupun empat, bahkan masih dipertahankan angkutan tradisional delman ( andong ). Apabila ditempuh dengan jalan kaki memerlukan waktu kurang lebih 30 menit. Udara didaerah ini tergolong sejuk, karena terletak di ketinggian 700 m diatas permukaan air laut. Disepanjang perjalanan dari Leles ke desa Cangkuang kita akan menyaksikan indahnya sawah yang hijau, disebelah utara kita akan melihat Gunung Haruman, dan disebelah barat akan nampak Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur yang menjulang tinggi.

Gerbang yang tidak terlalu besar akan menyambut kehadiran para pengunjung, bahkan lokasi parkir bagi para pengunjung hanya muat untuk 3 mobil ukuran kecil sejenis sedan dan minibus. Untuk bus besar bisa diparkir ditepi jalan desa. Sejenak kita bisa beristirahat ditepi situ, sambil menikmati makanan kecil yang sudah kita bawa. Teduh rasanya memandangi air situ yang bening kehijauan dan udara yang sejuk. Untuk mencapai Candi Cangkuang kita harus menyeberangi situ, kurang lebih berjarak 500 meter dari tempat gerbang masuk. Rakit dari bambu siap mengantarkan kita dengan ongkos 50,000 per rakit, dimana satu rakit kapasitas maksimalnya 25 orang. Kurang lebih setelah 10 menit berada diatas rakit, sampailah kita dilokasi Candi Cangkuang. Memasuki areal candi setiap orang dikenakan biaya restribusi sebesar Rp 1000,- yang digunakan untuk pemeliharaan candi tersebut. Pagi hari rasanya lebih indah ketika kita mengunjungi candi tersebut, karena selain candi tersebut terletak ditanah yang paling tinggi diantara bangunan-bangunan lain ditempat itu, kabut pagi yang menyembul diantara pohon-pohon besar di sekitar candi menambah kesan angker candi, namun hal itu justru menambah pesona tersendiri dari Candi Cangkuang.

Candi Cangkuang ditemukan kembali oleh Team Sejarah Leles dan sekitarnya pada tanggal 9 Desember 1966. Team ini disponsori oleh Bapak Idji Hatadji ( Direktur CV. Haruman ). Team Sejarah Leles diketuai oleh Prof. Harsoyo, serta sebagai ketua penelitian sejarah dan kepurbakalaan adalah drs. Uka Tjandrasasmita, seorang ahli purbakala Islam pada lembaga purbakala. Drs. Uka Tjandrasasmita mula-mula melihat adanya batu yang merupakan fragmen dari sebuah bangunan candi dan disamping itu terdapat pula makam kuno berikutsebuah arca ( patung ) Siwa yang sudah rusak, tempat penemuan ini adalah merupakan sebuah bukit di Kampung Pulo Desa Cangkuang. Penelitian tersebut berdasarkan tulisan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genootschap terbitan tahun 1893 yang menyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuno ( Arif Muhammad ) dan sebuah arca yang sudah rusak. Selama penelitian selanjutnya disekitar tempat tersebut ditemukan pula peninggalan-peninggalan kehidupan pada zaman pra sejarah yaitu berupa alat-alat dari batu obsidian ( batu kendan ), pecahan-pecahan tembikar yang menunjukkan adanya kehidupan pada zaman Neolithicum dan batu-batu besar yang merupakan peninggalan dari kebudayaan Megaliticum.

Lebih unik lagi disamping Candi cangkuang terdapat sebuah pemukiman yang dinamakan dengan Kampung Pulo. Sebuah kampung kecil yang terdiri dari enam buah rumah dan kepala keluarga. Ketentuan ini harus ditepati, dan sudah merupakan ketentuan adat kalau jumlah rumah dan kepala keluarga itu harus enam. Oleh karena itu bagi Kampung Pulo Desa Cangkuang sukar atau relatif lama untuk berkembang, baik rumahnya atau penduduknya dari keenam kepala keluarga tersebut. Sebagian besar dari penduduk Kampung Pulo tersebut bermata pencaharian petani dengan tanah sendiri, dan sebagian lagi sebagai petani penggarap tanah orang lain. Penduduk yang menempati kampung ini merupakan penduduk keturunan ke tujuh dari Eyang Dalem Arif Muhammad. Karena uniknta tempat ini, baik dari sejarah maupun lokasinya, membuat daya tarik tersendiri buat wisatawan baik domestik maupun luar negeri untuk mengunjungi tempat ini. Menurut petugas, "tiap hari selalu ada wisatawan asing yang berkunjung kesisni, belum lagi diakhir minggu biasanya banyak dikunjungi oleh anak-anak sekolah untuk memperdalam pengetahuan sejarah. Namun begitu, faktor kebersihan dan keindahan nampaknya kurang mendapat perhatian serius dari Dinas Pariwisata yang mengelola tempat ini. Selain itu fasilitas MCK juga kurang memadai, sehingga ke depan agar tempat ini tetap menarik buat para wisatawan, pihak-pihak terkait harus memperbaiki dan melengkapi fasilitas-fasilitas yang ada.

AMGD

naskah dan foto di Copy dan diambil dari Nafigasi. net

Read On 0 komentar

Candi

CANDI BATUJAYA

[navigasi.net] Budaya - Situs Batujaya
Candi Jiwa yang telah selesai dipugar. Bentuk bagian atas dari Candi ini masih merupakan teka-teki

Penulis : Sihouette

Referensi : -

Lokasi : Batujaya, Karawang

Koordionat GPS : S6.057090-E107.154720

Ketinggian : 4 meter

Fotografer : Silhouette

[navigasi.net] Budaya - Situs Batujaya
Salah satu pintu masuk kebagian tengah Candi Blandongan

[navigasi.net] Budaya - Situs Batujaya
Batu prasasti yang masih dalam keadaan polos ditemukan tak jauh dari lokasi Candi Blandongan


[navigasi.net] Budaya - Situs Batujaya
Sketsa tampak atas dari Candi Blandongan

[navigasi.net] Budaya - Situs Batujaya
Beberapa jenis fragmen yang ditemukan di sekitar Candi Blandongan

[navigasi.net] Budaya - Situs Batujaya
Bentuk sumur tua yang terletak dalam cungkup. Menurut penduduk setempat sumur ini tidak dalam hanya sedalam pinggang manusia dewasa

Siapa sangka kalau unur (gundukan tanah) yang terletak di pematang sawah itu adalah reruntuhan sebuah candi ? Saya berani bertaruh bila anda melihat langsung kelokasi unur tersebut pasti akan menyangka gundukan tersebut hanyalah onggokan tanah dengan puing batu bata disana sini, yang mirip sekali dengan buangan puing bongkaran suatu bangunan. Terlebih beberapa ekor kambing tampak sedang asik berteduh dibawah rindangnya pohon tak jauh dari lokasi dimana unur tersebut berada, yang tentunya semakin menambah kesan biasa-biasa saja.

Terdapat 17 unur pada lokasi ini, satu diantaranya sudah selesai di ekskavasi yakni Candi Jiwa (S006.05709 - E107.15472), sedangkan yang dalam tahap ekskavasi hingga artikel ini dibuat dinamakan Candi Blandongan (S006.05598 - E107.15338). Unur-unur lain benar-benar masih dalam bentuk gundukan tanah, beberapa diantaranya telah meiliki nama: Serut, Gundul, Damar, Batu Lingga, Lingga dan Lempeng. Kesengajaan membiarkan candi-candi tersebut masih dalam gundukan tanah atau unur, diakrenakan untuk terhindar dari pencurian/perampokan benda-benda cagar budaya oleh masayarakat. Dengan membiarkannya dalam bentuk gundukan tanah, setidaknya akan mempersulit seseorang untuk mengambil benda-benda cagar budaya, karena harus menggali terlebih dahulu.

Selain dalam bentuk candi juga ditemukan pula sebuah sumur tua (S006.05465 - E107.15050) yang lokasinya tidak jauh dari lokasi Candi Blandongan dan sudah dinaungi cungkup diatasnya. Dibagian lain juga ditemukan sebuah batu pipih besar (S006.05703 - E107.15276) yang diperkirakan akan dipakai sebagai tempat penulisan prasasasti, namun entah karena faktor apa hingga kini tidak ada satu tulisanpun yang terukir dibatu tersebut. Dugaan yang timbul, mungkin telah terjadi bencana alam atau peperangan, sehingga batu pipih tersebut masih polos dari prasasti/tulisan.

Nama Candi Jiwa diberikan penduduk karena setiap kali mereka menambatkan kambing gembalaannya di atas reruntuhan candi tersebut, ternak tersebut mati. Sedangkan nama Blandongan diambil dari dialek setempat yang identik dengan pendopo, dikarenakan lokasi candi tersebut berada sering dijadikan tempat peristirahatan seusai menggembalakan ternak.

Untuk pemugaran candi-candi ini, team eksvakasi candi memesan bata khusus dengan ukuran 38x12x7cm. Bata-bata itu kemudian disusun berdasarkan sketsa gambar bentuk candi yang telah dibuat sebelumnya. Sketsa itu sendiri dibuat dengan memperhatikan bagian-bagian candi yang masih tersisa. Dari penelelitian yang telah dilakukan terhadap candi Blandongan, diambil kesimpulan bahwa Candi Blandongan adalah candi utama dari kompleks candi-candi tersebut. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan ukuran candi dan adanya pintu masuk pada ke-empat sisi candi dengan masing-masing sisi tersebut terletak disudut Tenggara, Barat Daya, Timur Laut dan Barat Laut dari mata angin. Pintu-pintu tersebut diperkirakan merupakan akses masuk ke bagian tengah candi untuk melakukan upacara keagaaman atau meletakkan sesaji. Lubang silinder berdiameter kira-kira setengah meter yang terletak pada bagian muka dari pintu masuk, diperkirakan dulunya merupakan tiang penyangga untuk bagian atas atau sebagai gapura.

Dari sisa-sisa reruntuhan bisa dibagi menjadi tiga jenis bahan penyusun candi, yakni batu andesit digunakan pada beberapa bagian di bawah candi, batu bata yang merupakan bahan dominan, digunakan untuk membangun badan candi, sedangkan batu-batuan kecil yang direkatkan dengan lapisan putih diunakan untuk ornamen atap candi. Lapisan putih yang tampak seperti kapur itu, menurut para arkeologi diperkirakan dibentuk dari serpihan kerang. Dengan adanya bahan-bahan penyusun tersebut, pada jaman dulu tentunya candi ini amatlah megah, namun sayang sekali tidak ada literatur yang bisa dijadikan pedoman seperti apa bagian atas dari candi Blandongan ini.

Berbeda dengan candi Blandongan, pada candi Jiwa praktis tidak ditemukan sama sekali adanya pintu masuk kebagian tengah candi. Susunan batu bata yang berbentuk gelombang pada bagian atasnya diperkirakan merupakan bagian dari relief bunga teratai. Dugaan awal pada bagian atas Candi Jiwa ini terdapat patung Budha berukuran besar yang duduk diatas bunga teratai.

Disamping temuan-temuan batu-batuan pembentuk candi juga ditemukan fragmen tulang-belulang manusia dan binatang, gerabah, dan kerang-kerang laut kuno. Temuan paling penting dalam ekskavasi yang dilakukan antara lain fragmen cermin perunggu, fragmen sangkha emas, fragmen votive tablet berelief Buddha yang diapit Boddhisatwa. Di atasnya duduk tiga Tathagatha, sedangkan di bagian bawah terdapat inskripsi dengan huruf Jawa Kuno.

Dalam buku karangan De Haan yang mengungkapkan, daerah itu pada tahun 1684 masih berupa rawa. Sementara daerah sekitarnya masih berupa tambak-tambak yang membentang sejak Sungai Citarum di sebelah barat hingga Kali Ciparage di sebelah timur. Kali Ciparage terletak di daerah Cilamaya.

Kecuali tambak di Batujaya, tambak di Ciparage telah disewakan Tumenggung Panatajuda kepada orang-orang Cina. Kelompok etnis Tionghoa tersebut, hingga kini masih dijumpai di daerah Cemara yang terletak sekitar 10 kilometer sebelah timur situs Cibuaya. Selama ini mereka dikenal sebagai penguasa tambak udang dan bandeng.

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, tahun 1691, rawa Batujaya dikuasai Tumenggung Wirabaya. Tahun 1706, Komando Belanda yang ditempatkan di Tanjungpura, sekitar lima kilometer arah barat dari Kota Karawang mengingatkan janji Wirabaya untuk membersihkan rawa-rawa tersebut dan kemudian dijadikan sawah dan lahan penanaman nila.

Sayang, hingga kini belum diketahui apakah bangunan-bangunan candi tersebut dihancurkan ketika Mataram menempatkan pasukannya dalam rangka penyerbuan ke Batavia. Atau kerusakan itu sudah terjadi pada era sebelumnya, misalnya, ketika Sriwijaya berusaha melakukan ekspansi kekuasaannya. Sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, Karawang pernah dikuasai Mataram, namun kemudian diserahkan kepada VOC.

Para arkeolog berpendapat, jika sudah ada candi, sangat boleh jadi pada saat itu sudah terdapat kerajaan. Sebab untuk membangun candi dibutuhkan biaya yang tidak sedikit dan masyarakat yang terorganisir.

Meskipun sudah dilakukan beberapa kali penelitian terhadap runtuhan bangunan candi-candi tersebut, baik di Pamarican, Cibuaya, dan Batujaya, satu hal membuat para peneliti penarasan adalah, pertanggalan situs-situs tersebut hingga kini belum diketahui pasti. Padahal informasi tersebut sangat penting untuk menyingkap sejarah masyarakat Sunda di masa lalu. Dan jika asumsi para arkeologi bahwa candi berdiri pada tahun 3 Masehi, bisa dipastikan situs batujaya ini merupakan candi tertua yang pernah ditemukan di Indonesia.

Sebuah cerita misteri ikut mewarnai candi-candi ini. Terdapat peraturan tak tertulis pada lokasi ini bahwa pengunjung dilarang membawa pulang batu-batuan yang merupakan bagian dari badan candi. Terkadang meskipun sudah ada larangan tersebut, masih ada saja pengunjung yang iseng membawa pulang beberapa buah batu untuk dijadikan jimat/penglaris/sarana untuk memajukan usahanya. Namun beberapa hari kemudian pengunjung tersebut kembali lagi kelokasi candi untuk mengembalikan batu yang telah mereka ambil, karena tidak tahan menghadapi "gangguan-gangguan" yang dialaminya. Malah diceritakan seorang lurah diberitakan mati mendadak dalam mobil yang dikendarainya, dan ketika di check pada bagasi belakang terdapat sekarung batu bata yang berasal dari lokasi candi tersebut.

Naskah dan Ilustrasi Foto diambil dari Nafigasi. Net

Read On 0 komentar

Shiluet di Monas

Banyak cara yang dilakukan oleh penduduk ibu kota Jakarta guna menghabiskan waktu liburannya. Untuk mencari tempat berlibur di Ibu kota Jakarta bukanlah suatu barang yang susah, semua tersedia, mulai dari tempat wisata yang "mahal" sampai ke tempat wisata yang murah meriah. Wisata Budaya, wisata sejarah, Wisata bahari, maupun wisata belanja semua tersedia dengan lengkap, mulai yang diperuntukan untuk kalangan atas, menengah sampai bawah tersedia lengkap.
Sepertihalnya monas adalah salah satu dari sekian banyak objek wisata yang memang di sediakan secara sengaja oleh pemerintah DKI Jakarta Untuk masyarakat segala Lapisan.
realitas menunjukan bahwa rencana pembangunan Monas yang di Prakarsai oleh goebernoer Jakarta Alisadikin memang sesuai dengan sasarannya. Selain berbagai fasilitas yang ada mulai dari fasilitas olahraga seperti lapangan Foetsal, Basket bal, Taman bermain, pertunjukan tarian air mancur, juga Monumen nasional monas dengan Museumnya dan juga pemandangan luas yang dapat di nikmati dari puncak monas menjadikan daya tarik tersendiri sehingga penduduk Jakarta maupun luar Jakarta tidak segan-segan datang ke Monas.Monas menjandjikan liburan yang murah meriah bagi siapa saja yang mengunjunginya. Mulai dari Olah raga Fooetsal, Basketbal, Jalan kaki, lari, maupun, senam pagi, atau sekedar bersantai sejenak melepas lelah penat rutinitas seharihari di ibukota yang padat di bawah rindangnya pohon-pohon yang tumbuh subur si sepandjang taman, maupun di hamparan rumput nan hijau yang indah atau di kursi2 kursi pandjang yang senantiasa setia menemani setiap pengunjung yang datang.
maka segeralah datang dan kunjungi monas jika anda sekeluarga memerlukan hiburan murah meriah
Read On 0 komentar

TEMPOE DOELOE

TEMPOE DOELOE

ayo donk, bantu gue dengan mengunjungi blog gue yach...
Read On 0 komentar